"Teman jadi saudara, dan saudara menjadi Anjing!"
Kalian tidak akan memahami ini jika kalian tidak merasakan sendiri, bagaimana kebaikan temanmu mengalahkan kebaikan dari saudaramu sendiri. Bagaimana temanmu lebih selalu ada dan membantu tanpa perhitungan, sedangkan saudaramu selalu tentang pamrih dan perhitungan yang njlimet.
Semua ini bermula pada saat aku hendak mendaftar kuliah. Saat itu aku berniat mengambil jurusan seni, akan tetapi tante dan om tidak setuju, hal itu tentu mempengaruhi keputusan ibuku. Aku pun terpaksa harus memilih jurusan yang dipilihkan oleh pihak keluarga serta di kampus PTS yang biasa saja. Setahun aku menunda kuliahku, dan rasanya dongkol sekali. Disini apapun serba diatur, bahkan hidupku. Aku pun harus membubarkan band sekolahku, selain karena tuntutan ekonomi masing-masing personil juga karena semangatku yang turun karena pilihan jurusan ini.
7 bulan lamanya menunggu, aku pun pindah ke rumah tanteku sembari kerja di sebuah design grafis di Sleman, Yogyakarta. Aku bekerja di tempat ini selamat 8 bulan lamanya dan hasilnya untuk aku jajan, karena aku diberi beberasa syarat dan salah satunya harus cari uang jajan sendiri jika mau kuliah. Harusnya aku kuliah dengan biayaku sendiri di Seni, bukan dikuliahkan tapi diberi syarat ini itu.
Singkat cerita aku masuk kuliah. Di semester 1 dan 2 pun aman tentang biaya. Akan tetapi pernah beberapa kali pembayaran tetap menggunakan uangku pribadi. Yap, tak apa, toh aku punya uang lebih ini. Kuliah aku jalani dan aku terima dengan lapang hati. Hanya saja tante sering berkata bahwa kuliahku memberatkan dan selalu berkata bahwa semua ini dari jerih payahnya sendiri tanpa memperhatikan andilku juga dalam membayar.
Pada semester 3, Om meninggal karena kecelakaan. Hal itu sangat memukul kami. Perekonomian pun goyah. Ibu serta adik-adikku pun harus pindah serumah dengan tante, terlebih tante sedang hamil tua. Kami saling menguatkan satu sama lain, salin menyuport agar tidak tumbang. Aku pun keluar kerja dan memilih buka rental kamera di rumah.
Ketika itu tante melahirkan dan ibuku yang mengasuh anaknya, sebagai ganti telah membiayai kuliahku, walaupun tidak full. Ibuku juga selalu mengalah, disini jadi seperti babu. Aku paling tidak suka ini. Bahkan rasanya aku ingin segera keluar dari belenggu ini dan menyelamatkan keluargaku sendiri. Tunggu waktunya!
7 bulan kemudian, anak tanteku meninggal karena terkena demam berdarah. Kembali lagi kami terpukul. Ibuku tetap di rumah ini untuk tetap menguatkan. Semua dalam tidak baik-baik saja, terlebih kehilangan 2x berturut-turut.
Aku pun lulus kuliah. Semua biasa saja, hanya ibuku yang bangga. Oke, tak apa. Selepas ini pun permasalahan semakin menjadi. Semua barang ibuku yang dibawa ke rumah ini diaku hak milih, termasuk warung dibelakang rumah yang awalnya dibangun ibuku. Kami kembali harus mengalah. Disini kami makan pun dipermasalahkan. Semua mulai serba perhitungan. Bahkan aku sering diusir rumah sebagai bentuk ancaman agar menurut dengan perintah dan aturannya. Keluarga macam apa ini?
Ada hal yang membuat aku, ibu & adik tidak bisa meninggalkan tempat ini begitu saja. Hal itu karena semua barang sudah dibawa ke tempat ini dan diaku milik tante. Kami tidak punya apa-apa lagi. Kami pun bertahan cukup lama.
Belum 1000 hari kematian Om, tante sudah berkenalan dengan pria lain. Beberapa kali berganti pacar. Dan yang terakhir ini cukup serius dan mulai masuk jenjang pernikahan. Disinilah kami semakin teraniaya. Sepertinya lelaki ini semakin membawa dampak buruk. Benar saja, kami diusir tanpa sebab. Kami pindah di rumah satunya dan membeli ulang semua berkakas dan alat. Kami pun terima dengan lapang dada.
Bagaimana bisa? Keluarga seperti ini?
Ibuku punya teman-teman yang baik, yang selalu menawari kebaikan untuknya, namun di keluarga sendiri malah timbul iri dengki dan selalu menyalahkan.
Apa dalam persaudaraan selalu seperti ini? menjijikkan!